Langsung ke konten utama

Napak Tilas Berdirinya Museum Bikon-Blewut

 

Dr. Theodor Lambertus Verhoeven, SVD[1]: Mastermind Penemuan Kebudayaan Purba Flores

 

P. Verhoeven, SVD dalam salah satu kegiatan penggaliannya di Liang Bua

Theodor Lambertus Verhoeven lahir di Uden, Belanda, pada tanggal 17 September 1907 dari rahim Ibu yang bernama Johana Maria Vogels dan Ayah yang bernama Petrus Verhoeven.

Verhoeven belajar Sejarah Bahasa – Bahasa Klasik dan Arkeologi di Universitas Utrecht, Belanda. Ketika belajar di Universitas Utrecht itu dia terlibat dalam tim ekskavasi ke Italia selama beberapa bulan untuk menggali bekas kota Pompeii dan Herculanum yang terkubur oleh abu vulkanik letusan Gunung Vesuvius. Pada tahun 1948, Verhoeven memperoleh gelar Doktor Etno-linguistik di bawah bimbingan Prof. Hendrik Wagenwoort.

Pada tahun 1949, Verhoeven SVD dan beberapa temannya dikirim oleh Kongregasinya SVD menjadi misionaris di Flores, Indonesia, dimana dia menjadi guru di Seminari Menengah Mataloko, Kabupaten Ngada, dan melakukan ekskavasi (penggalian) gua – gua alam di seluruh Flores sampai dengan tahun 1967. Pada akhir tahun 1967 Verhoeven kembali ke Belanda dan kemudian menikah dengan sekretarisnya alias meninggalkan SVD. Dia kemudian dikabarkan meninggal dunia pada tahun 1990 di Uden.

 Sejarah Ekskavasi Gua-Gua Alam di Flores[2]

 

Proses penggalian fosil Homo Florensis di Liang Bua, Manggarai, Flores-NTT

Kedatangan para misionaris Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) ke Flores pada awal abad 19 telah turut membawa dampak yang positif bagi masyarakat suku – suku asli di Flores dan pelestarian warisan budaya leluhurnya serta bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya arkeologi. Para misionaris SVD, yang ahli di bidang ilmu sejarah dan bahasa serta kebudayaan ini, mulai mengambil inisiatif untuk menemukan dan mengoleksi “kekayaan budaya Flores yang tersembunyi” agar supaya dapat dilestarikan sehingga menjadi “sumber pembelajaran” bagi generasi muda Flores saat ini. Mereka itu adalah: Paul Arndt SVD, W. Koppers SVD, Theodor Verhoeven SVD, B.A.G. Vroklage SVD, Paul Schebesta SVD, M. Guisinde SVD, Jilis Verheijen SVD, yang selalu melaporkan hasil-hasil penelitian mereka ke Jurnal Ilmiah ANTHROPOS yang didirikan pada tahun 1906 di Modling-Austria oleh Prof. Wilhelm Schmidt SVD, tutor dan guru mereka.

Perlu diketahui bahwa, dalam kajian antropologis tentang teori-teori Difusi Kebudayaan,[3] Wilhelm Schmidt SVD (1868-1954) adalah salah satu pencetus teori difusi kebudayaan yang dikenal dengan sebutan “mazhab teori Kulturkreislehre” dan yang bersama rekannya Fritz Graebner SVD (1877-1934) mendalilkan bahwa “kulturkreise atau lingkaran-kebudayaan adalah lingkaran wilayah di muka bumi ini yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang sama, kendatipun berbeda secara geografis, dan yang terbentuk oleh karena unsur-unsur kebudayaan itu menyebar secara berkelompok ataupun satu per satu dengan melewati jarak yang jauh”. Maka mazhab Schmidt ini berpendirian bahwa keyakinan masyarakat asli akan adanya Wujud Tertinggi (Urmonotheismus) itu bukanlah suatu perkembangan baru melainkan suatu bentuk kebudayaan yang sangat tua dan yang hidup pada masa ketika tingkat kebudayaan manusia itu masih rendah. Hasil kerja etnografis W. Schmidt SVD bersama murid-murid perdana yang menjadi misionaris SVD di Flores (W. Koppers SVD, Paul Arndt SVD, B.A.G. Vroklage SVD, dll.) ini kemudian menjadi satu karya raksasa yang berjudul Der Ursprung der Gottesdee (1926) atau Asal Mula Konsep Tentang Tuhan.[4]

Kaitan dengan sejarah penemuan kebudayaan purba di Flores dan bagi masyarakat asli Flores serta dunia ilmu pengetahuan, satu langkah awal yang spektakuler telah dimulai oleh Dr. Th. Verhoeven SVD. Walaupun beliau membuat studi khusus tentang sejarah bahasa-bahasa klasik, namun kemudian minatnya beralih kepada studi tentang arkeologi atau obyek-obyek kebudayaan purba. Setelah tiba di Flores pada tahun 1949, Verhoeven mulai melakukan penelitian-lapangan di seluruh wilayah pulau Flores dengan konsentrasi khusus pada ekskavasi (penggalian) gua-gua alam dan penemuan artefak-artefak budaya zaman paleolithicum (batu tua), budaya neolithicum (batu muda), budaya “flake” dan “blade” (zaman mesolithicum = batu tengah), budaya Dongson (zaman perunggu), dan bidang geologi. Oleh karena itu dia menggalang usaha-usaha penggalian gua-gua alam di mana-mana dan menemukan fosil-fosil manusia purba dan fosil-fosil fauna dan flora di seantero pulau Flores.

Terdorong oleh dugaan-dugaan dan desas-desus penduduk lokal Flores tentang adanya gua-gua kediaman manusia purba, Verhoeven membentuk Tim Ekspedisi I yang terdiri dari Th. Verhoeven SVD, W. van Bekkum SVD, A. Mommersteeg SVD untuk memulai penjelajahan ilmiah. Pada Agustus 1950, ketiga serangkai ini berangkat ke wilayah Manggarai untuk menemukan gua-alam di Liang Bua, kini bagian dari Desa Rampasasa, Kabupaten Manggarai. Dengan bantuan masyarakat lokal, hasil penggalian di hamparan-lantai Liang Bua ini adalah berupa pecahan tulang-belulang hewan dan peralatan batu (artefak) termasuk batu api, yang mengindikasikan adanya sekelompok manusia yang pernah hidup di wilayah sekitar Liang Bua itu. Penjelajahan ilmiah selanjutnya diarahkan ke wilayah Labuanbajo di Flores Barat. Disana mereka menemukan 10 gua-alam dan dengan bantuan penduduk lokal pada Juli 1951 Tim ini melakukan penggalian (ekskavasi) secara sistematis pada salah satu gua-alam yang mereka namakan “Liang Mommer” dan menemukan fosil kerangka dan tulang-belulang manusia, selain sisa-sisa kebudayaan Megalith dan benda-benda kebudayaan Tionghoa seperti porcelin dan mata uang. Di samping wilayah Labuanbajo, Tim ini juga menemukan lagi 15 gua- alam di wilayah Ruteng dan Reo, juga di Flores Barat. Setelah itu mereka juga melakukan ekspedisi ke Riung dan Wangka di Flores Tengah dan menemukan 6 gua-alam di sana.

Awal tahun 1952 atas inisiatif sendiri, Mommersteeg SVD menemukan alat-alat zaman Perunggu di Menge/Ngada (Flores Tengah), sedangkan anggota Tim yang lain menemukan tiga (3) kapak perunggu di Guru/Sikka (Flores Tengah) dan juga alat-alat kebudayaan Dongson di Nua Mbiko/Lio (Flores Tengah). Pada tahun 1954 dengan bantuan masyarakat lokal, Verhoeven dan Tim Ekspedisi I kembali ke wilayah Manggarai dan melakukan ekskavasi (penggalian) di gua-alam “Liang Toge”, Lempang Paji, kini bagian dari Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Ekskavasi sedalam 1 meter ini berhasil menemukan juga fosil kerangka dan tulang – belulang manusia. Pada tahun 1955, Tim ini juga masih menjelajahi wilayah–wilayah Flores Timur dan menemukan beberapa gua – alam di Boru/Hokeng dan Lewoleba.

Pada rentang waktu 1956 – 1965, Verhoeven SVD membentuk Tim Ekspedisi II yang terdiri dari para mantan siswanya di Seminari Mataloko (Verhoeven SVD, Piet Petu SVD, Darius Nggawa SVD, Frans Nurak SVD, Rokus Due Awe) dan melakukan penjelajahan-ilmiah dan menghasilkan penemuan-penemuan di bidang Paleontologi berupa “Fauna Gua bertingkat sub-fosil” dan “Fauna daratan prehistoris bertingkat fosil” serta “Flora bertingkat sub-fosil”. Untuk memper-tanggungjawabkan semua hasil–karyanya ini, Verhoeven, SVD membangun hubungan dan kerjasama dengan Ilmuwan – Ilmuwan di Eropa dari Universitas Utrecht dan Universitas Leyden serta para Arkeolog di Bogor dan Bandung, yang mempelajari dan menganalisa serta mempublikasikan hasil penemuan dan penelitian ini di beberapa Majalah Ilmu Pengetahuan seperti ANTHROPOS (Internasional) dan BERITA MIPI (Nasional). Kegiatan penelitiannya di Flores ini sejak semula sudah diketahui dan diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia, karena Verhoeven SVD selalu memberikan laporan secara berkala mengenai hasil – hasil penelitiannya ini ke Dinas Purbakala di Jakarta dan Seksi Pengajaran dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang. Bersamaan waktu dengan hasil – hasil penelitian dan etnografi dari rekan – rekan misionaris yang lain tentang sejarah budaya – budaya dan agama – agama non – Kristen di Oceania dan Asia Tenggara, Verhoeven SVD pun mengoleksi hasil – hasil penggalian dan penemuannya di Flores yang sebagian besar kini menjadi koleksi-koleksi utama Museum Bikon-Blewut Ledalero.

Hasil-hasil penggalian dan penemuannya sejak tahun 1950 hingga tahun 1965 ini mula-mula disimpan saja di Seminari Menengah Todabelu/Mataloko, Kabupaten Ngada, yang dikelola dan dijaga oleh imam-imam SVD. Namun setelah Verhoeven SVD pulang ke Nederland pada tahun 1967, hasil-hasil temuan dan penggaliannya itu cuma dikenal lewat tulisan-tulisannya di Jurnal ANTHROPOS dalam bahasa Jerman dan lewat laporan-laporan hasil penelitiannya ke Dinas Purbakala di Jakarta. Pada tahun 1975, datanglah seorang misionaris asal Nederland yang masih muda dan energik, Drs. Guus Cremmers SVD, yang mendapat tugas sebagai Dosen Kesenian dan Filsafat Sastra di STFK Ledalero-Maumere, Kabupaten Sikka. Atas inisiatifnya dan dengan persetujuan Pimpinan Regio SVD Ende saat itu, seluruh koleksi hasil-hasil temuan dan penggalian Verhoeven itu dipindahkan ke Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Kabupaten Sikka. Guus Cremmers SVD merawat dan menjaga koleksi-koleksi tersebut sampai dengan kedatangan Pater Drs. Piet Petu SVD pada tahun 1982, yang sengaja dipindahkan dari Ende untuk menjadi Dosen Sejarah Kebudayaan di STFK Ledalero.

Di tangan Pater Piet Petu SVD, yang lebih dikenal dengan nama marganya Sareng Orinbao dan juga mantan anggota Tim Ekspedisi II Verhoeven ini, pada tahun 1983 seluruh hasil penggalian dan penemuan bersejarah itu langsung ditata dan dikelola secara sistematis-ilmiah di dalam sebuah gedung kecil bagian dari bangunan Seminari Tinggi Ledalero, sehingga pantas disebut sebagai sebuah MUSEUM. Dari aspek keanekaragaman isi koleksi – koleksi museum, para imam SVD menamakan Museum ini sebagai “museum misi dan budaya”. Namun Pater Piet Petu SVD lebih cenderung mencetuskan nama BIKON-BLEWUT untuk museum ini, atas dasar penafsirannya terhadap “kekayaan budaya Flores yang tersembunyi” melalui syair- adat budaya Sikka yang berbunyi:

“Saing Gun Saing Nulun, Saing Bikon Saing Blewut Saing Watu Wu’an Nurak, Saing Tana Puhun Kleruk De’ot Reta Wulan Wutu, Kela Bekong Nian Tana.”

 Artinya: 

Sejak zaman dahulu, sejak zaman masih purba, Ketika bumi masih rapuh, Ketika tanah masih seperti buah yang masih muda, Tuhan di Langit Angkasa, Menciptakan bumi, matahari, dan bulan. 

Maka berkaitan dengan Tahun Berdirinya Museum ini secara singkat boleh disimpulkan sebagai berikut:Dari segi sejarah penemuan dan penggalian hingga terhimpunnya koleksi-koleksi tersebut, Museum ini didirikan pada tahun 1965 oleh Pater Dr. Verhoeven SVD di Todabelu/Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores. Sedangkan dari segi sejarah penataan dan pengelolaan koleksi-koleksi ini secara sistematis-ilmiah di dalam sebuah Gedung, Museum ini didirikan pada tahun 1983 oleh Pater Drs. Piet Petu, SVD di Ledalero-Maumere, Kabupaten Sikka, Flores.

Editor: Jefron Hikon




[1] Arsip Dokumen Regio SVD Ende Tahun 1967.

[2] Arsip Museum BIKON – BLEWUT Tahun 1985.

[3] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta : UI Press, 1987), pp. 113 – 117.

[4] Ernest Brandewie, When Giants Walked the Earth: The Life and Times of Wilhelm Schmidt SVD (Switzerland: Univ. Press, 1990), pp. 66 – 119.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pendiri Museum

P. Piet Petu, SVD (Sareng Oring Bao) Pendidikan dan Pengabdian Lahir di Nita, Kabupaten Sikka (Flores), pada tanggal 03 Februari 1919 dengan menyandang nama Marga Sareng Orinbao . Sekolah Rakyat (SR) di Alok/Maumere (1929 –1931), Standaarschool di Lela, Kabupaten Sikka (1932 –1935), Seminari Menengah di Mataloko, Kabupaten Ngada – Flores (1936–1942), Novisiat SVD di Ledalero, Kabupaten Sikka (1943–1944), Studi Filsafat dan Teologi di Ledalero (1945–1951), Studi Sejarah di Jakarta (1952–1954) hingga mendapat gelar B1 Sejarah, Kursus Spiritualitas di Nemi, Roma (1961–1962) dimana beliau menulis draft buku Nusa Nipa atas permintaan Konggregasi, Studi Bahasa Jerman di Munchen, Jerman (1962–1963). Kaul  Pertama  dalam  SVD  diikrarkan  di  Mataloko pada tahun 1944 setelah diusir dari Ledalero oleh Jepang selama masa Perang Dunia II; ditahbiskan menjadi IMAM di Gereja Paroki St. Mikhael Nita pada tahun 1951; Guru di Seminari  San  Dominggo  Hokeng,  Flores  Timur  (1951 –1952); 

Kategori Hasil - Hasil Penemuan/ Penggalian Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores

Hasil penggalian fosil dan artefak budaya Flores dikategorikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut: Artefak Kebudayaan Neolithicum (Zaman Batu Muda) Flores Sejak tahun 1950, Dr. Verhoeven berhasil mengumpulkan 150 buah kapak dan beberapa alat neolithis yang lain. Alat- alat kebudayaan neolithis ini diperoleh dari tangan penduduk lokal di Flores dan juga ditemukan pada bekas-bekas kampung lama. Kapak-kapak tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe: (a) Kapak persegi-panjang (tipe Jawa), (b) Kapak lonjong (tipe Papua), (c) Kapak berpunggung atas atau dakvorming (tipe Seram), (d) Kapak berbentuk campuran. Tipe kapak yang paling banyak ditemukan adalah kapak persegi-panjang (tipe Jawa), walaupun ada juga sejumlah kecil kapak lonjong (tipe Papua). Kapak-kapak tipe Jawa dan Papua ini ditemukan di wilayah Timur pulau Flores. Hal ini menunjukkan bahwa “pulau Flores berada di daerah pertemuan unsur-unsur Barat dan Timur dari era Neolithicum Indonesia.” Dan berhubung hingga saat ini