Museum Bikon Blewut |
Ledalero yang artinya Bukit Sandaran Matahari, seumpama taman dalam persada Maumere. Taman mungil ini memiliki sekuntum bunga bernama Bikon Blewut. Sebuah museum bermahkota cahaya yang selalu mekar tiada pudar.
Sebagaimana mahkota terindah mengundang banyak lebah, saya pun bertandang ke sini untuk menjumput keharumannya. Aroma nektarnya yang menyejarah tetap lestari sejak didirikan pada tahun 1983 oleh P. Piet Petu, SVD. Bikon Blewut menyimpan fosil-fosil fauna dan flora Flores. Serta hasil-hasil seni budaya masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Adapun total seluruh koleksi museum ini berjumlah 82.127 item.
Ruangan utama museum |
Miniatur perahu pemburu ikan paus di Lamalera |
Bunga Lintas Generasi
Kelestarian Bikon Blewut rupanya meriwayatkan sejarah yang panjang. Benih pertamanya ditanam oleh Dr. Th. Verhoeven, SVD. Seorang misionaris kelahiran Uden, Belanda, yang penuh kecintaan pada dunia arkeologi.
Pada tahun 1949, ia bersama beberapa temannya diutus ke Nusa Nipa, Flores. Selama mengabdi sebagai guru di Seminari Menengah Mataloko, Ngada, ia sering melakukan eskavasi (penggalian) gua-gua alam di seluruh Flores sampai tahun 1967.
Ia bersama tim ekspedisinya telah menemukan dan mengoleksi kekayaan budaya Flores yang tersembunyi. Tim Ekspedisi I Verhoeven (1950-1960) dalam penejelajahan ilmiah tersebut menemukan alat-alat batu zaman Mesolithicum serta fosil-fosil tengkorak dan tulang belulang manusia purba Flores.
Pada Ekspedisi II turut serta para muridnya, satu diantaranya ialah Piet Petu, SVD. Kecintaan Verhoeven ini diteruskan oleh Sareng Orinbao, nama marga dari P. Piet Petu SVD. Di tangan Sareng Orinbao segala koleksi temuan tersebut ditata dan dikelola dalam sebuah gedung kecil, cikal bakal Bikon Blewut.
Pak Endi petugas museum menarasikan perihal nama Bikon Blewut yang merupakan tafsiran dari Sareng Orinbao atas sebuah syair adat Sikka yang berbunyi:
“Saing Gun Saing Nulun, Saing Bikon Saing Blewut
Saing Watu Wu’an Nurak, Saing Tana Puhun Kleruk
De’ot Reta Wulan Wutu, Kela Bekong Nian Tana.”
Artinya:
"Sejak zaman dahulu, sejak zaman masih purba,
Ketika bumi masih rapuh,
Ketika tanah masih seperti buah yang masih muda,
Tuhan di Langit Angkasa,
Menciptakan bumi, matahari dan bulan."
Betapa saya tergugah kala mendengar penjelasannya mengenai syair nan filosofis ini. Saya terpana pada pesona magis Bikon Blewut yang menjadi bunga primadona lintas generasi.
Keris Dongson. Satu-satunya di Indonesia. Berasal dari Kebudayaan Donsong-Vietnam Utara |
Stegodon Florensis yang Magnetis
Daya magnetis dari Bikon Blewut salah satunya terletak pada fosil Stegodon atau gajah purba. Spesies ini diperkirakan hidup di Flores pada zaman pleistosen-tengah dan akhir (400.00-8.000 tahun yang lampau).
Pada Desember 1956 Tim Ekspedisi II Verhoeven menemukannya pada lapisan pleistosen di daratan Ola Bua dan Mengeruda, Ngadha. Fosil-fosil ini ditemukan pada bantaran sungai besar sepanjang 10 km, pada lapisan tanah sedalam 1-3 meter. “Fosil ini mudah ditemui di tepi sungai, sebab kawanan gajah purba membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya” papar Pak Endy.
(Fosil Stegodon Florensis berusia kira-kira 300.000 BC) |
Temuan penting ini diberi nama Stegodon Trigonocephalus Florensis. Diduga bahwa Stegodon Florensis ini berpindah dari pulau Jawa melalui rangkaian pulai Bali dan Lombok serta Sumbawa. Pada zaman Quartair atau “the ice ages” kala permukaan air laut menurun, sehingga pulau-pulau di Nusa Tenggara saling terhubung oleh jembatan-jembatan tanah.
Pak Endi menerangkan bahwa penemuan Stegodon ini telah menggoncangkan teori Wallace-line. Sebab menurut Alfred R. Wallace garis-batas antara fauna Asia dan fauna Australia berjajar antara Kalimantan Timur dan Sulawesi, lalu diteruskan ke selatan antara Bali dan Lombok. Namun, dengan temuan Stegodon Florensis mengungkapkan bahwa pulau Flores pun termasuk dalam garis-batas fauna Asia. “Sehingga teori Wallace-line perlu direvisi, sebab besar kemungkinan bahwa garis-batas fauna Asia mestinya masih lebih ke Timur lagi” tambahnya.
***
Dalam pandangan mata koleksi-koleksi museum ini disimpan dengan cukup rapi. Ada artefak yang disusun dalam etalase kaca. Ruangan ini pun dibuat redup tanpa siraman cahaya berlebih untuk menjaga kelembapan suhu bagi barang-barang museum.
Sayangnya beberapa koleksi lain disimpan di gedung lain, karena keterbatasan ruang museum. Oleh karenanya tidak semua koleksi museum dipamerkan dalam ruangan ini.
(Pak Endi Padji petugas museum) |
Tidak hanya saya saja, tetapi banyak pula pengunjung yang bertandang ke sini. “Tak hanya wisatawan lokal, banyak pula wisatawan mancanegara yang berkunjung. Mereka ingin belajar perihal peradaban budaya Flores” jelas Pak Endi Padji yang telah bekerja selama 36 tahun di museum ini.
Beliau mengharapkan agar para generasi muda turut terlibat dalam melestarikan kekayaan tradisi para leluhur. Ia mengatakan dengan mengunjungi museum para kaum muda dapat lebih mengenal secara dekat peradaban luhur kebudayaan Flores.
(Pengunjung sedang membaca buku dokumentasi museum) |
Yulianti Ningsih, salah seorang pengunjung, mengungkapkan ketertarikannya pada museum ini. “Kita kaum muda perlu berkunjung dan belajar langsung di museum ini. Supaya menambah wawasan tentang peninggalan bersejarah dan kebudayaan demi kemajuan daerah kita ke depannya” ungkap Ningsih mahasiswi semester IV STFK Ledalero ini.
Penulis: Fr. Yos Bataona, SVD
Udah bagus Frater , semangat and sukses utk kedepannya , trimakasih sudah berbagi
BalasHapus