Langsung ke konten utama

Kategori Hasil - Hasil Penemuan/ Penggalian Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores

Hasil penggalian fosil dan artefak budaya Flores dikategorikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

Artefak Kebudayaan Neolithicum (Zaman Batu Muda) Flores

Sejak tahun 1950, Dr. Verhoeven berhasil mengumpulkan 150 buah kapak dan beberapa alat neolithis yang lain. Alat- alat kebudayaan neolithis ini diperoleh dari tangan penduduk lokal di Flores dan juga ditemukan pada bekas-bekas kampung lama. Kapak-kapak tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe: (a) Kapak persegi-panjang (tipe Jawa), (b) Kapak lonjong (tipe Papua), (c) Kapak berpunggung atas atau dakvorming (tipe Seram), (d) Kapak berbentuk campuran. Tipe kapak yang paling banyak ditemukan adalah kapak persegi-panjang (tipe Jawa), walaupun ada juga sejumlah kecil kapak lonjong (tipe Papua). Kapak-kapak tipe Jawa dan Papua ini ditemukan di wilayah Timur pulau Flores. Hal ini menunjukkan bahwa “pulau Flores berada di daerah pertemuan unsur-unsur Barat dan Timur dari era Neolithicum Indonesia.” Dan berhubung hingga saat ini belum ditemukan tempat pembuatan dan pengasahan alat- alat ini di Flores sebagaimana di Jawa dan Sulawesi Selatan, maka diperkirakan kapak-kapak ini datang dari luar Flores. Itu berarti bahwa kebudayaan neolithicum Flores belum lama lampau. Tambahan lagi kehadiran tipe-tipe kapak ini, pada zaman Neolithicum (4.500-2.500 tahun yang lampau), hanya bisa membuktikan bahwa penduduk pulau Flores pada waktu itu sudah bercocok-tanam (ada jenis kapak untuk upacara menanam padi) dan memelihara ternak serta bermukim di kampung-kampung. Mereka juga sudah mengenal kesenian berupa ukiran-ukiran pada tanah bakar dan pada dinding rumah serta pada perabot-perabot lainnya (ada jenis kapak untuk memahat).

Fosil dan Artefak Budaya “Flake” dan “Blade” (Mesolithicum = Zaman Batu Tengah) Flores

Dalam penjelajahan-ilmiah Tim Ekspedisi I Verhoeven dari bulan Agustus 1950 hingga tahun 1960 ke gua-gua alam di seluruh wilayah pulau Flores, mereka melakukan penggalian-penggalian (ekskavasi) secara sistematis sehingga menemukan alat-alat batu zaman Mesolithicum serta fosil-fosil tengkorak dan tulang-belulang manusia purba Flores. Bersama tuan H.R. van Heekeren, Kepala Dinas Purbakala di Jakarta, pada tahun 1951 Verhoeven menetapkan kerangka manusia purba ini sebagai manusia Proto – Negrito dari species Homo Erectus. Sedangkan alat- alat kebudayaan “Flake” dan “Blade” (zaman Mesolithicum: 6.500 – 4.500 tahun yang lampau) yang ditemukan adalah mata panah, mata tombak, ketam, serut, alat tusuk, dan mata pisau yang semuanya terbuat dari bahan batu – batu keras dan tulang serta tanduk kewan dan kulit kerang. Penemuan artefak-artefak zaman Batu Tengah (mesolithicum) ini menunjukkan bahwa di Flores juga terdapat bukti-bukti peninggalan budaya Megalith. Yang mengejutkan adalah bahwa Tim Ekspedisi ini juga menemukan barang-barang peninggalan kebudayaan Tiongkok seperti porcelin dan mata–uang. Di kemudian hari setelah dianalisa oleh Guus Cremmers SVD dan Piet Petu SVD ternyata bahwa benda- benda porcelin (piring, poci, dandang, guci, mangkuk, dll.) ini berasal dari periode dinasti Ming dan dinasti Han. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh perdagangan orang Tionghoa dari kedua dinasti ini sudah sampai di Flores, yang diperkirakan terjadi pada zaman Kerajaan Majapahit yang menjalin hubungan perdagangan dengan orang Tionghoa dari dua   dinasti tersebut dan yang juga memperluas pengaruhnya sampai ke pulau Flores.




Demikian juga halnya dengan mata-uang, baik mata- uang RI dari semua periode maupun pelbagai mata-uang asing, dalam bentuk kertas dan koin yang dikoleksi secara sistematis oleh P. Piet Petu SVD. Dari antara semua mata-uang itu terdapat mata-uang koin tertua, yang pada satu sisinya tertera gambar “wajah Iskandar Zulkarnain” atau Raja Alexander Agung. Seorang ahli numismatic, F. A. Loefken, mengatakan bahwa mata- uang tersebut pernah digunakan sebagai alat-pembayaran baik di Persia (336-323 SM) maupun di Hindia Timur (327-325 SM). Peredaran mata-uang ini menunjukkan bahwa Alexander Agung pernah menaklukkan dan menguasai wilayah jajahannya sampai ke Hindia Timur pada abad IV.



  Artefak–Artefak Budaya Dongson

Dalam penelitian Tim Ekspedisi I Verhoeven di wilayah-wilayah Flores Tengah (Ngada, Ende-Lio, Sikka) ditemukan jejak-jejak kebudayaan Dongson dari zaman Perunggu (2.500-2000 tahun yang lampau). Mereka menemukan keris dan golok yang terbuat dari perunggu di kampung Menge (Ngada). Prof. R. Heine Geldern menjelaskan bahwa penemuan ini adalah suatu kejadian yang istimewa, karena keris Dongson di Flores ini merupakan satu-satunya yang ditemukan di seluruh Indonesia.



Walaupun asal-usul keris ini tidak diketahui dengan pasti, namun keris ini memiliki kesamaan dengan dua keris yang terdapat di Annam Utara. Minimal penemuan ini dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa ada lukisan-lukisan keris yang terpahat pada arca-arca megalith di Pasemah, Sumatera Selatan. 

Di samping keris Dongson, Tim Ekspedisi I Verhoeven juga pada tahun 1952 menemukan tiga (3) kapak perunggu di kampung Guru (Sikka). Orang tua-tua penduduk lokal hanya mengatakan bahwa kapak-kapak ini datang dari seberang lautan serta berdaya-magis untuk menangkal setan (du’a helang) dan mengusir perampok tetapi juga untuk meminta hujan turun. Pater Piet Petu SVD menamakan jenis kapak ini sebagai Taka-Plager. Dan oleh karena dikatakan “datang dari seberang lautan”, maka diperkirakan bahwa kapak-kapak ini termasuk tipe kapak-tuangan Jawa karena dibuat pada waktu yang sama dengan kapak Jawa dan yang memiliki ciri-ciri “berlobang di bagian hulu” untuk dimasukkan ke dalam tungkai kayu. Kapak tipe ini merupakan salah satu unsur kebudayaan Dongson dan diduga masuk ke Flores pada masa akhir kebudayaan Dongson ketika didesak oleh masa / zaman pemakaian besi. Pada zaman besi itu, kapak-kapak ini tidak dipakai lagi sebagai perkakas, sehingga hanya digunakan sebagai ajimat yang berkekuatan mitis-magis. 

Sementara itu ada satu penemuan penting lainnya di Nua Mbiko (Ende-Lio) yakni “Watu Weti” atau “picture rock”: sebuah batu besar rata yang di atasnya tergores lukisan-lukisan tentang beberapa jenis benda terkenal dari zaman Perunggu seperti kapak-kapak corong, keris, mata tombak, teristimewa perahu-perahu arwah yang biasanya menjadi hiasan pada nekara-nekara perunggu di Indonesia dan Asia Tenggara. Salah satu “nekara perunggu” yang ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Mokko yang banyak terdapat di pulau Alor. Jadi penemuan keris perunggu dan kapak perunggu serta nekara perunggu Mokko ini membuktikan bahwa kebudayaan Dongson juga pernah menyebar sampai ke pulau Flores. 





Temuan di Bidang Paleoantropologis

Penggalian (ekskavasi) secara sistematis oleh Tim Ekspedisi I dan II Verhoeven pada rentang waktu tahun 1951-965 di hampir semua gua-alam di Flores (Liang Bua, Liang Momer, Liang Toge, Mata Menge) telah berhasil menemukan tengkorak dan rahang serta tulang-belulang manusia purba. Hasil-hasil penemuan ini dikirim ke Universitas Utrecht, Nederland, untuk diuji dan dianalisa oleh Prof. Dr. Huizinga dan Prof. Dr. von Koeningswald yang kemudian menetapkan bahwa kerangka manusia yang berbentuk pipih dan pendek itu tergolong dalam ras Negrito, sedangkan kerangka manusia yang kepalanya berbentuk “dolichocephal” dan yang memiliki bentuk geraham yang amat besar itu tergolong  dalam ras Proto-Negrito. Hasil penemuan ini ternyata dapat memberikan jawaban atas persoalan penyebaran ras-ras di kepulauan Indonesia. 

Untuk pertama-kalinya dibuktikan oleh penemuan ini bahwa “ras Negrito adalah juga pendukung kebudayaan gua di Indonesia atau kebudayaan bertingkat epi-paleolithis”, selain ras Austro-Melanesoid   di Jawa dan Sumatera serta ras Wedoid di Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu antropolog, Paul Schebesta SVD menegaskan bahwa ras Negrito ini benar-benar terbukti pernah hidup di pulau Flores, dan tentunya telah pula tersebar lebih jauh lagi ke Asia Selatan dan Tenggara, walaupun kehadiran ras ini di Jawa dan Sumatera serta Kalimantan belum pernah bisa dibuktikan.


Temuan di Bidang Paleontologis

  1. Fauna Gua Bertingkat Sub-fosil

Tim Ekspedisi II Verhoeven menemukan bahwa dalam lapisan-lapisan gua-gua alam di Flores terdapat banyak sekali rahang dan gigi serta tulang-belulang dari berjenis-jenis binatang sebagai remah-remah makanan dari manusia purba penghuni gua-alam. Sub-fosil Fauna Gua ini dikirim kepada Dr. P. A. Hooyer dan Dr. L. D. Brongersma di Universitas Leyden-Nederland untuk dipelajari dan dianalisa. Hasil studi dan kajian para Sarjana ini ditetapkan sebagai berikut:

  • Jenis Tikus Raksasa. Penemuan ini membuktikan bahwa pada masa pleistosen-awal (600.000-100.000 tahun yang lampau)10 telah hidup di daratan Asia Tenggara banyak jenis tikus besar.
  • Sub-fosil Landak, Babi rusa, Kijang, Anjing, Kera, Kalong, pelbagai jenis Kerang dan Siput. Penemuan ini membuktikan bahwa jenis-jenis binatang tersebut di atas ini merupakan makanan dari manusia purba Flores penghuni gua-gua alam, yang hidupnya berburu binatang-binatang kecil baik di daratan maupun di dalam air. Itu berarti bahwa binatang-binatang tersebut telah hidup di Flores pada zaman pleistosen-awal.

    2. Fauna Daratan Pre-historis Bertingkat Fosil

Lewat bantuan penduduk lokal dan para ahli arkeologi dari Bogor, pada bulan Desember 1956 Tim Ekspedisi II Verhoeven berhasil menemukan fosil sejenis Stegodon pada lapisan pleistosen di daratan Ola Bula dan Mengeruda (Kabupaten Ngada, Flores Tengah) sebagai “subspecies baru” dari golongan Gajah. Penemuan terpenting di bidang Paleontologis ini dibenarkan oleh Dr. Dirk von Hooijer, yang memberi nama bagi subspecies baru ini sebagai Stegodon Trigonocephalus Florensis. Fosil-fosil dari Stegodon ini ditemukan di tepi sebuah sungai besar sepanjang 10 km pada lapisan-tanah sedalam 1-3 meter. Bentuk Stegodon Florensis ini lebih kecil dibandingkan dengan yang hidup di pulau Jawa, tetapi memiliki puncak geraham yang lebih tinggi. Species ini diperkirakan hidup di Flores pada zaman pleistosen-tengah dan akhir (400.000-8.000 tahun yang lampau).11 Diduga bahwa Stegodon Florensis ini berpindah dari pulau Jawa melalui rangkaian pulau Bali dan Lombok serta Sumbawa pada zaman Quartair atau “the ice ages” ketika permukaan air laut menurun, sehingga pulau-pulau di Nusa Tenggara  dapat saling dihubungkan oleh jembatan-jembatan tanah (land bridges) yang dapat dilalui oleh binatang-binatang itu.





Penemuan fosil Stegodon Florensis ini telah turut menggoncangkan “teori Wallace-line” untuk segera direvisi dan dikaji-ulang. Menurut Alfred R. Wallace, garis-batas antara fauna Asia dan fauna Australia itu berjajar antara Kalimantan Timur dan Sulawesi lalu diteruskan ke selatan antara Bali dan Lombok. Namun dengan penemuan fosil Stegodon Florensis ini, tampak dengan jelas bahwa pulau Flores pun termasuk daerah fauna Asia. Jadi besar kemungkinan bahwa garis-batas fauna Asia semestinya masih lebih ke Timur lagi. 

Hasil penemuan fosil gading gajah purba Stegodon dan fosil kerangka tulang-belulang manusia purba Flores ini dipublikasikan di majalah ilmiah ANTHROPOS volume 53Tahun 1958 di Modling-Austria. Publikasi ini dalam waktu singkat menarik perhatian dan mendapat tanggapan para ilmuwan dan arkeolog dari seluruh pelosok dunia, karena ada yang menyangsikan hasil-hasil temuan Verhoeven. Kendatipun demikian, Verhoeven tetap berusaha mencari hubungan antara hewan purba dan manusia purba di Flores, sehingga pada tahun 1963 Verhoeven SVD bersama Mommersteeg SVD dan J. Maringer SVD dibantu masyarakat lokal melakukan lagi ekskavasi di Mata Menge dan Boa Leza, wilayah cekungan Soa-Kabupaten Ngada, dan menemukan lagi fosil kerangka gajah purba jenis Stegodon dan pelbagai artefak batu yang telah berusia 750.000 tahun. Temuan artefak batu ini mengindikasikan bahwa di wilayah ini pernah hidup sekelompok manusia purba, karena ada semacam simbiosis mutualisme antara hewan purba dan manusia purba. 

Menghadapi tanggapan negatif dari beberapa arkeolog mapan dan ilmuwan yang menyangsikan hasil-hasil temuannya, pada tahun 1965 Verhoeven SVD dibantu oleh Rokus Due Awe (anak angkatnya) bersama masyarakat lokal melakukan ekskavasi besar-besaran di Liang Bua, kini bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai, hanya sedalam 4 meter dan berhasil menemukan fosil pigmi gajah Stegodon, artefak batu, dan tulang-belulang manusia purba yang diduga dari species Homo Erectus dengan tinggi badan 103 centimeter. Berdasarkan seluruh hasil ekskavasi dan temuan ini, Verhoeven SVD merumuskan satu kesimpulan teoretis bahwa species Homo Erectus telah menghuni pulau Flores pada 750.000 tahun yang lampau karena species ini adalah penghuni gua-gua alam dan makanan-utamanya adalah beberapa jenis hewan purba. 

Satu kejutan baru terjadi lagi pada tanggal 11 Juli 1998, ketika Tim Ekspedisi Museum Bikon-Blewut (P. Piet Petu SVD dan P. Ansel Doredae SVD) menemukan satu fosil tengkorak manusia raksasa (a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio (Kabupaten Ngada, Flores Tengah), yang terletak hanya 12 km dari lokasi penemuan fosil-fosil gajah Stegodon Florensis. Fosil ini sedang dipelajari atas dasar hipotesis bahwa besar kemungkinan fosil tengkorak manusia raksasa ini mempunyai kaitan – historis dengan fosil gajah Stegodon Florensis.

Temuan Artefak “Lower – Paleolithic

Dengan bantuan para arkeolog dan geolog dari Bandung, pada tahun 1959-1960 Verhoeven juga menemukan fosil-fosil vertebrata lainnya dan fosil tumbuh- tumbuhan serta beberapa jenis siput. Di antara fosil – fosil ini terdapat juga tektit-tektit yang, menurut Prof. von Koeningswald, sudah ada di pulau Flores pada masa akhir Pleistosen - Tengah (400.000 - 18.000 tahun yang lampau) dan juga artefak – artefak paleolithicum – bawah (Lower – Paleolithic) seperti misalnya “chooper” dan “chooping tools” atau alat-alat batu tua. Artefak-artefak zaman lower - paleolithic ini menunjukkan “kesamaan periode waktu” dengan artefak-artefak Budaya Sangiran dan Pacitan di Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa sejarah zaman batu tua (paleolithicum) di Flores ternyata lebih tua dari pada yang diperkirakan.
Editor:  Jefron Hikon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Napak Tilas Berdirinya Museum Bikon-Blewut

  Dr. Theodor Lambertus Verhoeven, SVD [1] : Mastermind Penemuan Kebudayaan Purba Flores   P.  Verhoeven , SVD dalam salah satu kegiatan penggaliannya di Liang Bua Theodor Lambertus Verhoeven lahir di Uden, Belanda, pada tanggal 17 September 1907 dari rahim Ibu yang bernama Johana Maria Vogels dan Ayah yang bernama Petrus Verhoeven. Verhoeven belajar Sejarah Bahasa – Bahasa Klasik dan Arkeologi di Universitas Utrecht, Belanda. Ketika belajar di Universitas Utrecht itu dia terlibat dalam tim ekskavasi ke Italia selama beberapa bulan untuk menggali bekas kota Pompeii dan Herculanum yang terkubur oleh abu vulkanik letusan Gunung Vesuvius. Pada tahun 1948, Verhoeven memperoleh gelar Doktor Etno-linguistik di bawah bimbingan Prof. Hendrik Wagenwoort. Pada tahun 1949, Verhoeven SVD dan beberapa temannya dikirim oleh Kongregasinya SVD menjadi misionaris di Flores, Indonesia, dimana dia menjadi guru di Seminari Menengah Mataloko, Kabupaten Ngada, dan melakukan ekskavasi (penggalian) gua –

Biografi Pendiri Museum

P. Piet Petu, SVD (Sareng Oring Bao) Pendidikan dan Pengabdian Lahir di Nita, Kabupaten Sikka (Flores), pada tanggal 03 Februari 1919 dengan menyandang nama Marga Sareng Orinbao . Sekolah Rakyat (SR) di Alok/Maumere (1929 –1931), Standaarschool di Lela, Kabupaten Sikka (1932 –1935), Seminari Menengah di Mataloko, Kabupaten Ngada – Flores (1936–1942), Novisiat SVD di Ledalero, Kabupaten Sikka (1943–1944), Studi Filsafat dan Teologi di Ledalero (1945–1951), Studi Sejarah di Jakarta (1952–1954) hingga mendapat gelar B1 Sejarah, Kursus Spiritualitas di Nemi, Roma (1961–1962) dimana beliau menulis draft buku Nusa Nipa atas permintaan Konggregasi, Studi Bahasa Jerman di Munchen, Jerman (1962–1963). Kaul  Pertama  dalam  SVD  diikrarkan  di  Mataloko pada tahun 1944 setelah diusir dari Ledalero oleh Jepang selama masa Perang Dunia II; ditahbiskan menjadi IMAM di Gereja Paroki St. Mikhael Nita pada tahun 1951; Guru di Seminari  San  Dominggo  Hokeng,  Flores  Timur  (1951 –1952);