Langsung ke konten utama

Misteri Manusia Purba Flores (Homo Floresiensis)

  

Kerangka Manusia Purba Flores

S eorang pastor Katolik asal Belanda, Theodor Verhoeven, SVD, yang mengajar di Seminari Menengah Mataloko (1949-1966), Kabupaten Ngada, telah melakukan penelitian lapangan dan ekskavasi (penggalian) beberapa lapisan tanah berbatu di hampir seluruh daratan Flores (dari Flores Timur hingga Flores Barat). Bersama tim ekspedisinya, Theodor Verhoeven menemukan fosil gajah purba jenis Stegodon pada tahun 1956 di Ola Bula, Mata Menge, Kabupaten Ngada, yang berusia 400.000 tahun.

Hasil penemuannya ini mematahkan Teori Wallace Line, yang mengatakan bahwa daratan Indonesia Timur, termasuk Flores, tidak pernah bergabung dengan pulau-pulau lain di Indonesia Barat pada zaman glacial atau zaman es yang terjadi sekitar 19.000 tahun yang lampau. Menurut Verhoeven, pada zaman glacial terjadi penurunan air laut akibat meluasnya wilayah yang tertutup es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, sehingga terjadi proses migrasi manusia dan fauna secara dua arah, baik dari wilayah Indonesia Barat maupun dari wilayah Indonesia Timur.

Di samping fosil gajah purba jenis Stegodon, yang dinamakan Stegodon Trigonocephalus Florensis, tim Verhoeven juga menggali lapisan tanah di beberapa gua alam di seluruh Flores, termasuk gua alam di Liang Bua, Kabupaten Manggarai. Tim Verhoeven pada tahun 1965 menggali lapisan tanah gua alam Liang Bua cuma sedalam 4 meter dan menemukan fosil tengkorak dan kerangka manusia. Setelah diteliti oleh beberapa arkeolog dari Universitas Leiden dan Utrecht di Belanda, dinyatakan bahwa fosil tengkorak dan kerangka manusia itu adalah dari ras Proto-Negrito anggota species Homo Sapiens atau manusia modern.

 

(Fosil Tengkorak Manusia Purba Liang Bua)

Namun karena pastor Theodor Verhoeven, SVD ini dianggap tidak memiliki latar belakang yang cukup di bidang arkeologi dan geologi, maka hasil-hasil penemuannya di atas mulai ramai diteliti lagi oleh banyak arkeolog baik dari Pusat Arkeologi Nasional (ARKENAS) maupun dari beberapa Universitas mancanegara (Australia, Perancis, Canada, & Jepang)

Kontroversi Penemuan Lanjutan


Pada tahun 2003, tim peneliti ARKENAS dalam kerja sama dengan Prof. Morwood dari University of New England di Australia dan arkeolog dari Smothosomian Institution melakukan ekskavasi (penggalian) di Liang Bua sedalam 5,9 meter dan menemukan 6-10 kerangka manusia purba. Ciri-ciri fisik : tubuh kerdil hanya setinggi 106 centimeter (1,06 meter), dengan bobot 25 kg dan kapasitas otaknya cuma 417 centimeter kubik (seperti pada simpanse). Tim ini langsung menamakan fosil manusia purba ini sebagai jenis species baru dan diberi nama Homo Floresiensis atau sering disebut “The Hobbit from Flores”. Para peneliti dari Pusat Penelitian ARKENAS: Ew Saptomo, Thomas Stikna, Jatmiko, Sri Wasisto dan (alm.) Rokus Due Awe. Hasil riset dan ekskavasi tahun 2003 ini dipublikasikan di Jurnal NATURE dan menimbulkan kontroversi atau tanggapan dari banyak pihak.

  • Sejumlah ilmuan mengatakan bahwa manusia “Hobbit” Flores adalah anggota species Homo Erectus. Hanya saja mereka mengalami isolasi dan evolusi sehingga badannya menjadi kerdil.
  •  Sedangkan ilmuan lainnya mengatakan bahwa “Hobbit” Flores adalah species Homo Sapiens atau manusia modern, tetapi memiliki otak yang kecil sebesar anggur.
  •   Ilmuan asal Perancis (Prof. Balzeau) meneliti ulang tulang-berulang “Hobbit” Flores menggunakan teknologi pemindaian yang tinggi, lalu berkesimpulan bahwa manusia purba ini mengidap penyakit tertentu yang berkaitan dengan kelainan genetik, sehingga menyebabkan kekerdilan. Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa species manusia ini kemungkinan adalah Homo Erectus atau Homo Floresiensis alias species baru, tetapi bukan Homo Sapiens.
  •  Prof. Teuku Jacob dan para peneliti dari Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan pada tahun 2006  bahwa “Hobbit” Flores adalah nenek moyang manusia modern (Homo Sapiens). Rahang bawah dan gigi “Hobbit” memiliki kesamaan dengan suku pigmi Rampasasa yang tinggal di sekitar Liang Bua. Sebagian individu menunjukkan kondisi mikrosefalia meskipun bertubuh kecil. Dan kerangka “Hobbit” Flores itu mirip dengan populasi Austromelanesia.

Homo Floresiensis

Waktu Kepunahan “Hobbit” Flores

 Kapan kira-kira “Hobbit” Flores ini punah?

  • Berdasarkan usia lapisan tanah yang tertua dan termuda di lokasi penemuan fosil ini, antara 95.000 – 12.000 tahun, maka besar kemungkinan kepunahan “Hobbit” Flores ini terjadi 50.000 tahun yang lalu. Kemungkinan ini diperkuat oleh penemuan beberapa artefak yang digunakan oleh “Hobbit” ini dan yang berusia paling muda 50.000 tahun.
  • Berdasarkan kepunahan hewan-hewan purba (stegodon pigmi, burung pemakan bangkai, burung bangau raksasa Marabau, komodo) pada 12.000 tahun yang lalu, maka diduga bahwa species “Hobbit” Flores ini juga mengalami kepunahan pada 12.000 tahun yang lalu. Mengapa? Matt Tocheri, Paleoantropolog dari Universitas Lakehead – Canada, mengatakan ada semacam “simbiosis mutualisme” antara hewan-hewan itu dengan “Hobbit” Flores, sehingga begitu salah satunya lenyap maka yang lain juga turut lenyap. Di samping itu, taring gigi “Hobbit” Flores memiliki kesamaan dengan manusia awal di Afrika yang sangat tua, yang merupakan sisa-sisa manusia awal pada era modern (Homo Sapiens). Jadi kalau “Hobbit” Flores punah 12.000 tahun yang lalu, maka diduga ada kontak dengan manusia awal modern (Homo Sapiens) yang datang ke Flores.

(Tulisan ini dihimpun dari pelbagai ulasan ilmiah, pernah dimuat di Koran Lokal, Flores Pos dan Pos Kupang tahun 2015-2016).

Editor: Jefron Hikon


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Napak Tilas Berdirinya Museum Bikon-Blewut

  Dr. Theodor Lambertus Verhoeven, SVD [1] : Mastermind Penemuan Kebudayaan Purba Flores   P.  Verhoeven , SVD dalam salah satu kegiatan penggaliannya di Liang Bua Theodor Lambertus Verhoeven lahir di Uden, Belanda, pada tanggal 17 September 1907 dari rahim Ibu yang bernama Johana Maria Vogels dan Ayah yang bernama Petrus Verhoeven. Verhoeven belajar Sejarah Bahasa – Bahasa Klasik dan Arkeologi di Universitas Utrecht, Belanda. Ketika belajar di Universitas Utrecht itu dia terlibat dalam tim ekskavasi ke Italia selama beberapa bulan untuk menggali bekas kota Pompeii dan Herculanum yang terkubur oleh abu vulkanik letusan Gunung Vesuvius. Pada tahun 1948, Verhoeven memperoleh gelar Doktor Etno-linguistik di bawah bimbingan Prof. Hendrik Wagenwoort. Pada tahun 1949, Verhoeven SVD dan beberapa temannya dikirim oleh Kongregasinya SVD menjadi misionaris di Flores, Indonesia, dimana dia menjadi guru di Seminari Menengah Mataloko, Kabupaten Ngada, dan melakukan ekskavasi (penggalian) gua –

Biografi Pendiri Museum

P. Piet Petu, SVD (Sareng Oring Bao) Pendidikan dan Pengabdian Lahir di Nita, Kabupaten Sikka (Flores), pada tanggal 03 Februari 1919 dengan menyandang nama Marga Sareng Orinbao . Sekolah Rakyat (SR) di Alok/Maumere (1929 –1931), Standaarschool di Lela, Kabupaten Sikka (1932 –1935), Seminari Menengah di Mataloko, Kabupaten Ngada – Flores (1936–1942), Novisiat SVD di Ledalero, Kabupaten Sikka (1943–1944), Studi Filsafat dan Teologi di Ledalero (1945–1951), Studi Sejarah di Jakarta (1952–1954) hingga mendapat gelar B1 Sejarah, Kursus Spiritualitas di Nemi, Roma (1961–1962) dimana beliau menulis draft buku Nusa Nipa atas permintaan Konggregasi, Studi Bahasa Jerman di Munchen, Jerman (1962–1963). Kaul  Pertama  dalam  SVD  diikrarkan  di  Mataloko pada tahun 1944 setelah diusir dari Ledalero oleh Jepang selama masa Perang Dunia II; ditahbiskan menjadi IMAM di Gereja Paroki St. Mikhael Nita pada tahun 1951; Guru di Seminari  San  Dominggo  Hokeng,  Flores  Timur  (1951 –1952); 

Kategori Hasil - Hasil Penemuan/ Penggalian Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores

Hasil penggalian fosil dan artefak budaya Flores dikategorikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut: Artefak Kebudayaan Neolithicum (Zaman Batu Muda) Flores Sejak tahun 1950, Dr. Verhoeven berhasil mengumpulkan 150 buah kapak dan beberapa alat neolithis yang lain. Alat- alat kebudayaan neolithis ini diperoleh dari tangan penduduk lokal di Flores dan juga ditemukan pada bekas-bekas kampung lama. Kapak-kapak tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe: (a) Kapak persegi-panjang (tipe Jawa), (b) Kapak lonjong (tipe Papua), (c) Kapak berpunggung atas atau dakvorming (tipe Seram), (d) Kapak berbentuk campuran. Tipe kapak yang paling banyak ditemukan adalah kapak persegi-panjang (tipe Jawa), walaupun ada juga sejumlah kecil kapak lonjong (tipe Papua). Kapak-kapak tipe Jawa dan Papua ini ditemukan di wilayah Timur pulau Flores. Hal ini menunjukkan bahwa “pulau Flores berada di daerah pertemuan unsur-unsur Barat dan Timur dari era Neolithicum Indonesia.” Dan berhubung hingga saat ini